Oleh Wartawan Senior Panda Nababan
Untunglah kekristenan masuk ke tanah Batak. Karena, sebelum masuknya agama Kristen, orang Batak terkenal dengan kekuatan-kekuatan gelapnya, kekuatan-kekuatan gaibnya. Kemudian juga bakatnya ribut, berkelahi, antar-kampung, antar-desa, antar-daerah. Hal-hal negatif itu seakan sudah menjadi bagian dari gaya kehidupan sehari-hari orang Batak pada masa lampau.
Masuknya agama Kristen ke Tano Batak membawa perubahan yang signifikan pada masyarakatnya. Proses asimilasi secara kultural terjadi.
Adat Batak sendiri bertumpu pada Dalihan na Tolu (Tiga Tungku), yang mendoktrinkan bahwa, tungku pertama, sesama satu marga harus selalu berhati-hati. Tungku kedua: terhadap boru (anak perempuan) harus bijak membujuk atau mengambil hatinya. Biasanya, boru adalah tulang punggung dan penanggung jawab besar atas suatu pelaksanaan pesta adat.
Tungku ketiga: hula-hula (keluarga pihak istri) harus sangat dihormati atau somba mar hula-hula.
Ketiga doktrin adat Batak Dalihan na Tolu ini dikombinasikan dengan kehidupan kekristenan menjadi suatu kekuatan kultural dari Bangso Batak. Ini sudah berjalan sejak awal agama Kristen masuk ke TanoBatak lebih dari 200 tahun yang lampau.
Ciri kekristenan adalah mengampuni dan memaafkan serta hidup baru. Kontrasnya, dalam adat Batak tidak ada kosakata kata yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘maaf’. Itu sebabnya, dalam adat Batak, permohonan maaf seseorang atau sekelompok orang hanya bisa dilaksanakan melalui proses adat, yakni Manopoti Sala.
Jadi, dalam pergaulan sehari-hari, kamus bahasa Batak tidak mengenal lema maaf. Sementara itu, kekristenan mendoktrinkan pengampunan dan maaf sebagai hal yang utama. []