Figur Hoegeng tidak hanya dikenang sebagai Kapolri yang jujur dan lurus, tapi juga sebagai seorang musisi. Sehingga tak perlu bertanya-tanya sampai ada media asing yang menjuluki Hoegeng sebagai The Singing General pada masa Indonesia dipimpin The Smiling General, alias Presiden Soeharto.

The Hawaiian Seniors, adalah kelompok musik buatan Hoegeng yang punya acara sendiri di TVRI. Kelompok musik itu membawakan lagu-lagu berirama folks Hawaii, personelnya, perwira Angkatan Udara Soejoso Karsono, ada juga George De Fretes, Meriyati Roeslani Hoegeng (istri Hoegeng), Mang Udel, Bram Titaley, dan Ferry Berhitoe.

Pada tahun 1980, acara itu dihapus setelah Hoegeng ikut menandatangani “Petisi 50”, sebuah kritik terbuka kepada Presiden Soeharto, yang diserahkan ke DPR pada 5 Mei 1980.

Mengenang waktu itu, saat Ibu Fatmawati wafat, dan disemayamkan di rumah duka di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Pada 14 Mei 1980. Hoegeng, Panda Nababan, dan Japto Soerjosoemarno (Ketua Pemuda Pancasila) datang melayat dan langsung masuk ke rumah duka. Kala itu Hoegeng turun tangga dengan tergesa-gesa hingga mengagetkan Panda dan Japto yang sedang ngobrol. Ternyata, dia mengejar Menteri Penerangan Ali Moertopo yang baru keluar dari rumah duka.

“Kenapa kau larang TVRI menyiarkan Hawaiian Senior, hah?” tanya Hoegeng kepada Ali.

Panda dan Japto yang menyaksikan peristiwa itu segera mendekat dan mengatakan, “Sudah, Om; sabar, Om.”

Sesaat Ali Moertopo kehilangan wibawa, wajahnya tampak kecut, dan ia langsung masuk ke mobil.

“Hanya itu hobi saya, diberedel kunyuk itu lagi,” pungkas Hoegeng kesal dengan gaya Banyumasan-nya.

“Petisi 50” adalah petisi yang ditandatangani oleh 50 orang, antara lain Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution, Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Imam Santoso, dan Letnan Jenderal (Purn.) Ali Sadikin. Judul sebenarnya dari petisi tersebut adalah “Ungkapan Keprihatinan”, sebagai respon atas pidato Presiden Soeharto saat rapat kepemimpinan ABRI di Pekanbaru, Riau, pada 27 Maret 1980 dan peringatan ulang tahun Koppasandha di Cijantung, Jakarta Timur, pada 16 April 1980.

Berikut ini antara lain isi “Petisi 50”, Jakarta, 5 Mei 1980.

… atas pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat panglima ABRI di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Koppasandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980. Kami prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang: meyakinkan ABRI untuk memihak, untuk tidak berdiri di atas seluruh golongan masyarakat, melainkan memilih-milih teman-temannya berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa; dan memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apa pun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila.

… kami mendesak para wakil rakyat di DPR dan MPR untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.

Soeharto sangat marah. “Ungkapan Keprihatinan” itu tersebar luas, termasuk ke media massa.

“Cara-caranya tidak saya sukai. Lebih-lebih kalau melihat bahwa mereka adalah juga yang menyebut dirinya pejuang,” kata Soeharto dalam otobiografinya, yang disunting oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H.

Para penanda tangan petisi tersebut pun dimusuhi oleh Soeharto. Awalnya, mereka malah akan dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik, tapi Panglima ABRI, Jenderal M. Jusuf keberatan, karena sebagian dari mereka adalah purnawirawan ABRI yang pernah berjuang untuk negara.

Alhasil, kelima puluh orang itu dimasukkan ke dalam “daftar hitam” rezim Soeharto dan dikucilkan. Misalnya, media massa tak boleh mengutip ucapan mereka. Juga mencoret nama mereka dari daftar undangan resmi pemerintah, termasuk menghadiri acara Ulang Tahun ABRI setiap tanggal 5 Okober, serta dilarang ke luar negeri.

Suatu ketika, Panda berkunjung ke rumah Hoegeng, Panda melihatnya bersedih. Jarang sekali Hoegeng terlihat sedih. Bahkan, saat diberhentikan sebagai Kapolri, pembawaannya tetap ceria.

“Ada apa, Pak, kok kelihatan sedih?” tanya Panda.

Ia bercerita, beberapa hari sebelumnya datang seorang perwira polisi menyampaikan undangan untuk mengikuti upacara Hari Bhayangkara. Hoegeng antusias dan berjanji akan datang ke upacara itu.

Sehari menjelang Hari Bhayangkara, datang seorang perwira yang lain. Si perwira justru melarang Hoegeng datang ke acara tersebut, karena: Presiden Soeharto menjadi inspektur upacara dan sang Presiden tidak mau Hoegeng hadir.

“Mengapa Soeharto kok takut sama saya, ya, Panda?” keluh Hoegeng.

Beberapa tahun silam, Saya kembali bertemu dengan wajah sedih Hoegeng. Kali ini lebih dramatis, berkaitan rencana pernikahan Prabowo Subianto dengan Siti Hediati (Titiek) Soeharto. Prabowo adalah putra Soemitro Djojohadikusumo, sahabat Hoegeng.

Kedekatan keluarga Soemitro dan keluarga Hoegeng berlangsung sejak lama, ayah keduanya juga bersahabat baik. Sejak jauh-jauh hari, Soemitro sudah meminta Hoegeng agar nanti menjadi saksi pernikahan putranya.

Menjelang pernikahan Prabowo-Titiek, Soemitro datang ke rumah Hoegeng. Soemitro mulai menceritakan rencana pernikahan putranya. Nada bicara Soemitro memberat dan ceritanya juga berputar-putar. Hoegeng langsung memotong cerita Soemitro. “Sudahlah, Mit, enggak usah sungkan-sungkan. Saya bersedia kok jadi saksi pernikahan Bowo. Itu kan sesuai janji kita dulu,” kata Hoegeng.

Soemitro terlihat bingung dan tersendat, Ia mengatakan, “Itulah masalahnya, Geng. Tadi seharian saya dan Pak Harto serta keluarga kami rapat merencanakan acara pernikahan. Tapi, rupanya, Pak Harto enggak berkenan kamu  hadir dalam acara pernikahan nanti. Saya mohon maaf, Geng.”

Selepas mengucapkan itu, Soemitro menangis. Begitu pula Hoegeng, menangis. Dramatis. Tragis.

Sekitar 10 tahun kemudian, ketika Panda Nababan sudah menempa Forum Keadilan, Panda melakukan wawancara khusus dengan Hoegeng. Ketika itu, Hoegeng bercerita mengenai sikap represif rezim Soeharto terhadap dirinya setelah ikut menandatangani Petisi 50, bagaimana ia mengalami banyak pencekalan, termasuk dilarang menghadiri acara resepsi perkawinan bila Presiden Soeharto hadir.

Malahan, Hoegeng mengetahui telepon rumahnya disadap petugas intel. Seorang pegawai Telkom yang bersimpati kepada Hoegeng membocorkan hal itu. Namun, dengan diperlakukan seperti itu, Hoegeng mengaku tidak sakit hati, tapi justru malah bangga.

“Tidak sama sekali. Saya tidak sakit hati. Malah, saya bangga jadi korban politik,” ujarnya.

Pada Desember 2018 lalu, sewaktu Saya membesuk istri Hoegeng, Merry, yang sedang dirawat di Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta Selatan, Saya ceritakan persahabatan Hoegeng dan Soemitro. Ternyata, Merry masih terkenang bagaimana kedua sahabat itu bertangisan menjelang pernikahan Prabowo dan Titiek.

“Panda, masih saya ingat bagaimana mereka berdua menangis,” kenang Merry.[]

Cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi (2021).