Kekuatan politik yang dibangun Presiden Soeharto pada zaman orde baru sungguh tidak tertandingi. Bisa dikatakan, partai-partai politik hanya dijadikan embel-embel untuk menciptakan persepsi, Indonesia sedang menjalankan sistem demokrasi.

Kala itu, Keluarga Besar Bung Karno memiliki sikap untuk tidak terlibat dalam politik praktis, apalagi masuk dalam partai politik. Untunglah, ada sosok Taufik Kiemas, suami dari Megawati Soekarnoputri. Ia berhasil mencairkan kesepakatan itu. Ia masuk PDI pada tahun 1982.

“Kita mesti bermain terbuka, agar dukungan rakyat lebih sah, legitimate, dan terukur,” kata Taufik kepada Panda Nababan dalam berbagai kesempatan diskusi.

Taufik berpandangan, untuk menandingi kekuatan Soeharto yang mencengkeram di hampir semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pihak oposisi harus menciptakan sosok pemimpin alternatif yang kuat dan didukung banyak rakyat. Ia melihat sosok itu ada pada diri Megawati. Kharisma Megawati dianggap bisa memimpin perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto yang otoriter.

Panda yang merupakan sahabat Taufik Kiemas juga berpandangan Megawati menjadi sosok yang tepat untuk menduduki Ketua Umum PDI. Langkah-langkah strategis pun segera dipersiapkan kedua tokoh yang memiliki kecocokan chemistry ini.

Taufiq mengajak Panda membentuk tim sukses dengan syarat harus solid dan gesit. Tim ini diberi nama Tim Garuda dan Panda ditunjuk sebagai ketua tim sukses. Tugasnya, memperjuangkan Megawati menjadi Ketua Umum PDI pada kongres luar biasa (KLB) di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.

Rapat pertama digelar awal September 1993. Panda memimpin rapat sekaligus memperkenalkan analisis SWOT (strength, oppurtunity, weakness dan threat). Hasilnya, Megawati berpotensi besar menjadi Ketua Umum PDI. Tapi, ancamannya adalah skema pemerintah yang akan memaksakan duet Budi Hardjono-Latief Pudjosakti untuk memimpin PDI.

Dengan sigap, Tim Garuda pun menggalang dukungan ke cabang-cabang. Taufiq aktif memberi arahan. Panda mengontak daerah dengan berbagai cara. Megawati harus siap menemui utusan atau delegasi yang datang dari seantero daerah ke rumahnya dalam 1×24 jam.

Panda (kanan), satu-satunya yang bukan keluarga Bung Karno dalam pertemuan ini

Dengan sigap, Tim Garuda pun menggalang dukungan ke cabang-cabang. Taufiq aktif memberi arahan. Panda mengontak daerah dengan berbagai cara. Megawati harus siap menemui utusan atau delegasi yang datang dari seantero daerah ke rumahnya dalam 1×24 jam.

Jumpa pers diadakan. Pers lokal dan asing diundang. Para jurnalis diizinkan mewawancarai Megawati secara eksklusif. Berita-berita positif dikirim ke seluruh jaringan se-Indonesia.

Lewat selebaran, tim juga mengajak masyarakat mendukung Megawati untuk kepentingan demokrasi dan kemaslahatan rakyat. Program-program politik-ekonomi disusun, dicetak, dan disebarluaskan. Kemudian, Panda menulis buku berjudul Megawati Soekarnoputri: Bendera Sudah Saya Kibarkan.

Tim Garuda pun rutin mengirim surat ke jajaran pengurus DPC PDI se-Indonesia. Selain untuk mendekatkan Megawati dengan jajaran partai, juga untuk mengajak partai keluar dari cengkeraman rezim Soeharto dan membangun kekuatan politik yang independen.  Surat-surat itu disusun seakrab dan sehangat mungkin, ditandatangani oleh Megawati.

Cara ini ternyata efektif. Para pengurus-pengurus PDI di daerah datang berombongan ke Jalan Kebagusan. Mereka menyampaikan aspirasi mendukung Megawati untuk memimpin PDI dan mengatasi kemelut yang terjadi di partai.

Dalam kesempatan inilah Megawati menyatakan, “Saya siap untuk maju. Dan kepada mereka yang ingin mendengar suara saya secara langsung, saya tegaskan, bendera sudah saya kibarkan. Saya pantang surut. Biarpun saya tinggal sendiri, bendera itu tidak akan saya turunkan.”

Pada September 1993, sebanyak 71 cabang berikrar di Kebagusan, menyatakan kebulatan tekad mendukung Megawati. Sejak itu, rumah Megawati nyaris setiap hari dipadati oleh utusan-utusan daerah dan simpatisan pendukung.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah putar otak. Secara terang-terangan, rezim Soeharto berupaya menjegal Megawati hadir di KLB Sukolilo. Bahkan, para kaki tangan di internal PDI pada mulanya berhasil menghalanginya untuk menjadi utusan DPC PDI Jakarta Pusat, padahal Megawati adalah ketuanya. Akhirnya, Megawati bisa menjadi utusan dari DPC PDI Jakarta Selatan, bersama Ketua PDI Jakarta Selatan ex officioRatih Ratna Poernami.

Tak putus, langkah Megawati masih tetap dihalang-halangi. Dia tidak diperkenankan masuk ke arena kongres. Waktu itu, Panda dan Taufiq hampir terlibat konflik fisik dengan pengurus caretaker. Setelah perdebatan yang sengit, akhirnya Megawati diizinkan masuk.

Sejak sidang di hari pertama, 2 Desember 1993, KLB PDI memang sudah diwarnai ketegangan. Pasalnya, pemimpin sidang, Latief Pudjosakti, ngotot ingin mengadakan pemilihan ketua umum menggunakan sistem formatur. Ia ada di barisan pendukung Budi Hardjono. Namun, sebagian besar peserta kongres menuntut pemilihan langsung atau voting. Jadilah perdebatan soal mekanisme pemilihan ketua umum berlangsung alot.

Akhirnya, pada hari ketiga diputuskanlah pandangan umum dari para peserta kongres. Sikap peserta menunjukkan “peta politik suara” dalam kongres secara transparan. Pandangan umum ini menjadi bukti nyata dukungan bagi Megawati. Dari sana terlihat Megawati dicalonkan mayoritas peserta kongres, yaitu 256 cabang dari 305 cabang yang hadir (atau sekitar 84 persen).

Bersama Megawati sejenak dikamar isolasi Asrama Haji Sukolilo

Hari itu, Megawati tampil ke podium sebagai juru bicara dari DPC Jakarta Selatan. Setelah mengusulkan segala keputusan kongres diserahkan kepada peserta, Megawati pada akhir pidatonya menyitir sebait puisi pujangga India, Swami Vivekananda:

“Sudah cukup lama kita menangis. Jangan menangis lagi. Tegakkan mukamu menjadi manusia sejati.. untuk menegakkan kebenaran.”

Ruangan bergemuruh. Sebagian besar peserta gegap gempita menyambut pidato Megawati tersebut. Suara merdu Megawati yang mendayu-dayu itu berhasil menyayat kalbu. Para pejabat sosial-politik terlihat panik.Mereka mengingatkan utusan daerahnya masing-masing untuk kukuh dengan sikapnya.

Pada sidang hari terakhir, 6 Desember 1993, tak satu pun anggota caretaker terlihat di arena kongres. Sepanjang hari mereka berkonsultasi di luar asrama haji dengan Gendon Mulyono, Direktur Pembinaan Masyarakat Direktorat Jenderal Sosial-Politik Departemen Dalam Negeri, sebagai utusan khusus Dirjen Sospol Depdagri.

Karena situasi tak menentu, 27 utusan DPD se-Indonesia mengadakan pertemuan yang melahirkan gagasan taktis secara alamiah. Mereka memutuskan memberi batas waktu hingga pukul 20.00 WIB kepada caretaker untuk mengadakan sidang paripurna, Bila tidak, cabang-cabang akan mengambil alih lalu menjadikan ketua-ketua DPD se-Indonesia sebagai anggota formatur guna menyusun kepengurusan DPP.

Namun, pukul 20.00 WIB, caretaker memanggil semua DPD dan meminta sidang ditunda. Jelang detik terakhir batas surat izin kongres pukul 24.00 WIB, caretaker belum juga membuka sidang kembali. Rencana berantakan. Kongres jelas sekali diarahkan menuju deadlock.

Di luar arena kongres, Tim Garuda terus merancang skenario tandingan untuk melawan skema penjegalan itu. Atas keinginan Taufiq, Dimyati Hartono, pengacara senior, diminta merancang sikap politik yang memiliki kekuatan yuridis. Semua langsung sepakat setelah pernyataan dirumuskan di secarik kertas olehnya.

Pernyataan itu segera dikirim ke Megawati. Panda mengutus Rahadi Zakaria yang berprofesi sebagai wartawan. Posisi anggota tim sukses yang wartawan memang sangat efektif untuk menyelundup ke arena kongres yang dijaga sangat ketat petugas bersenjata lengkap. Mereka bebas masuk-keluar karena mengenakan kartu pers.  Ini yang tidak diduga kubu Budi Hardjono dan Soerjadi, yang bahkan tidak tahu kalau Panda adalah Ketua Tim Sukses Megawati.

Di depan peserta kongres, Megawati berpidato: “Saudara-Saudara yang saya hormati, secara de facto, saya sudah menjadi ketua umum, tapi secara de jure memang belum. Untuk itu, Saudara-saudara saya minta bersikap tenang, karena PDI adalah bagian dari bangsa Indonesia.”

Setelah KLB Surabaya berakhir, gerakan massa rakyat datang bagai gelombang. Nyaris setiap hari rumah Taufiq-Mega di Jalan Kebagusan dipenuhi simpatisan dari berbagai kalangan. Sikap heroik mereka yang tidak takut ancaman atau intimidasi itu membuat Megawati dan Tim Garuda terharu, bangga, dan gembira. Inilah yang nyata disebut “arus bawah”, suara rakyat sebenarnya. Istilah ini jadi begitu populer pada masa itu.

PDI kemudian menyelenggarakan musyawarah nasional (munas) pada 22-23 Desember 1993 di Hotel Garden, Kemang, Jakarta Selatan. Langkah Megawati tidak terbendung lagi. Sekitar pukul 21.00 WIB, 22 Desember 1993, sebanyak 52 fungsionaris DPD dari 27 provinsi secara aklamasi memilih Megawati. Jadilah Megawati Soekarnoputri menjadi Ketum PDI untuk pertama kalinya, pada 20 tahun yang lalu.

Megawati menyatakan dirinya secara de facto menjadi Ketua Umum PDI begitu acara kongres mau selesai

Meski Megawati secara de facto dan de jure telah sah sebagai Ketua Umum PDI, rezim militer Soeharto masih saja berupaya menjegal. Berbagai cara pun dilakukan.

Di Medan, pemerintah menyelenggarakan Kongres PDI pada Juni 1996 yang dimotori Fatimah Achmad. Hasil kongres itu pun diterima Kepala Staf Sosial-Politik ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid.

Pada 19 Juni 1996, sebelum kongres di Medan berlangsung, pendukung Mega berupaya melakukan perlawanan. Mereka mengadakan long march dari Jalan Diponegoro ke Departemen Dalam Negeri di Jalan Medan Merdeka Utara, namun tertahan barikade aparat keamanan.

Besoknya, ketika kongres dilaksanakan, ribuan massa pendukung di Jakarta kembali turun ke jalan. Kali ini, aksi mereka dikawal ketat oleh aparat keamanan. Namun, begitu mendekati Markas Kostrad di depan Stasiun Gambir, aparat malah balik menghambat laju gerak massa. Bentrokan tak terelakkan. Puluhan aktivis dan simpatisan terluka, 48 orang di antaranya ditahan aparat kepolisian.

Tanggal 24 Juni 1996, kongres di Medan ditutup dan PDI tandingan dibentuk dengan Soerjadi sebagai ketuanya. Pada 25 Juli 1996, Soerjadi menemui Soeharto.  Jumat, 26 Juli 1996 malam, Tim Garuda rapat di rumah Megawati di Kebagusan.  Rupanya, malam itu, pihak intelijen militer sudah merancang rencana jahat.

Besoknya, kantor PDI di Jalan Diponegoro diserbu gerombolan berbadan tegap dan berambut cepak. Jatuh banyak korban, termasuk yang meninggal dunia dan luka parah. Aksi penyerbuan ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996.

Berita langsung menyebar ke telinga masyarakat. Ribuan orang datang secara bergelombang ke Jalan Diponegoro. Namun, langkah mereka terhalang barikade aparat keamanan bersenjata lengkap. Panda sendiri langsung ke lokasi, tapi tidak dapat masuk ke kantor DPP PDI. Di depan bioskop Megaria, ia diusir dengan popor senjata dan wajah prajurit yang beringas.

Jelang sore, massa melampiaskan kemarahan dengan membakar 197 mobil dan sepeda motor serta 56 gedung di seputar kawasan Salemba-Proklamasi-Cikini. Panda yakin dan pasti gerakan liar ini bukan dari pendukung Megawati, tapi dari pihak penguasa yang sengaja memberi kesan “ada kerusuhan”. Seperti dugaan, Panglima ABRI menyatakan kemelut yang menyangkut PDI telah ditunggangi oknum, golongan, dan kelompok yang tidak bertanggung jawab, dengan melakukan tindakan-tindakan anarkis.

Megawati untuk sementara berhasil disingkirkan penguasa, tapi rezim Soeharto harus membayar mahal dengan semakin kehilangan banyak kepercayaan dari masyarakat. Selesai teror militer Soeharto pada 27 Juli 1996, perlawanan tetap dilakukan. Simpati dan dukungan kepada PDI-Megawati terus mengalir. Rezim Soeharto harus dilawan.

Kantor DPP PDI yang telah luluh-lantak akibat penyerangan gerombolan telah diambil alih pemerintah. Setelahnya PDI-Megawati berkali-kali pindah kantor, ke Bilangan Condet, ke Pejaten, hingga ke lantai 7 Gedung BRI Semanggi. Tapi, Kepala Sospol ABRI Letnan Jenderal Syarwan Hamid sangat benci kepada Megawati. Ke mana Megawati berkantor, ia segera mengusir. Itulah tabiatnya. Akhirnya, rumah Mega-Taufiq di Jalan Kebagusan menjadi markas resmi PDI-Megawati sekaligus menjadi kantor DPP-nya.

Menghadapi Pemilu 1997, PDI-Megawati tetap solid. Meski pemerintah hanya mengakui PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi sebagai kontestan pemilu, PDI-Megawati tetap mengajukan daftar calon anggota legislatif dengan menggunakan formulir sendiri. Dalam beberapa putaran kampanye, PDI-Soerjadi dibuat tak berkutik oleh massa pendukung Megawati. Rencana PDI-Soerjadi melakukan konsolidasi gagal di berbagai daerah.

Bahkan, pasca lengsernya Presiden Soeharto, kubu Megawati tetap mendapat upaya perlawanan. DPP PDI Soerjadi menggelar Kongres di Palu, 25-27 Agustus 1998. Kongres ini diwarnai aksi lempar batu sehingga menimbulkan situasi yang tegang.  “Itu merupakan penghinaan dan menginjak-injak kedaulatan rakyat,” kata Megawati tegas.

Cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi(2021).

Buku yang saya tulis berisi pokok-pokok pikiran Megawati berjudul ‘Bendera Sudah Saya Kibarkan; Pokok-Pokok Pikiran Megawati Soekarnoputri’