Ratusan ribu massa menghadiri Deklarasi PDI Perjuangan di Stadion Utama Senayan Jakarta, 1999

Tak ada yang tahu siapa pencetus nama PDI Perjuangan. Tiba-tiba saja sudah populer di masyarakat dan media massa. Lantas jadi bukti atas kelamnya perjalanan panjang PDI-Megawati melawan rezim Soeharto. Bagi Megawati sendiri, kata ‘Perjuangan’ adalah sebuah anugerah.

Perjuangan belum selesai, Kapten! Sebuah kalimat yang tersirat pada benak punggawa Tim Garuda. Mengapa? Usai terpilihnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI, tugas berat Tim Garuda masih berlanjut. PR—pekerjaan rumah—selanjutnya untuk tim sukses Megawati itu adalah berjuang melawan kelompok-kelompok yang ingin menyingkirkan ketua umum mereka. Maka, perlu sebuah ketegasan dalam menghadapi situasi yang terjadi saat itu. Dimulailah dari penggantian nama.

Gagasan ini muncul lantaran PDI telah terpecah, hanya nama PDI-Soerjadi yang diakui oleh pemerintah. Megawati sebagai Ketua Umum PDI yang secara sah dipilih oleh pengurus dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) se-Indonesia serta didukung masyarakat tak mendapatkan hak-haknya.

Sisi lain, ada juga pihak yang menyebut PDI-Megawati sebagai PDI Pro-Mega. Alhasil, mereka pun memutuskan harus ada satu nama dari wadah yang mencerminkan perlawanan.

8 September 1998, PDI-Megawati menggelar rapat kerja nasional di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat. Panda Nababan sebagai ketua Tim Garuda ikut dalam rapat ini. Di sinilah muncul gagasan agar nama PDI-Megawati diganti menjadi PDI Perjuangan.

Dalam diskusi-diskusi kecil, nama PDI Perjuangan sudah sering terdengar; muncul begitu saja dan mencuat dalam semangat perjuangan saat itu.

“Kita berjuang. Kita masih berjuang.”

“Perjuangan masih panjang.”

“Apa alat perjuangan kita?”

“Ya, PDI.”

“Kalau begitu, PDI Perjuangan!”

Semua sepakat karena suka dengan nama ini.

Jika direnungkan, begitulah alur “kesadaran” kala itu. Suasana kebatinan mengatakan hal itu. Lahirlah nama PDI Perjuangan dan secara aklamasi diterima semua.

Rapat kerja itu juga memutuskan diadakan konferensi cabang untuk memilih utusan ke Kongres PDI di Bali, 8-10 Oktober 1998.

Pada pidato pembukaan kongres di Bali, Megawati mengucapkan terima kasih kepada rakyat yang telah menganugerahkan kata Perjuangan”. Inilah pernyataan resmi pertama untuk penggunaan nama PDI Perjuangan sebagai pengganti nama PDI-Megawati.

Pada hari kedua, peserta secara aklamasi memilih Megawati kembali menjadi ketua umum, untuk kedua kalinya. Bulu kuduk Panda berdiri.

Sambil menyaksikan para peserta berteriak gembira saat menyambut terpilihnya Megawati, Panda menggamit lengan Taufiq Kiemas dan berbisik, “Fiq, ingat lima tahun yang lalu di Sukolilo. Begitu baiknya Tuhan dan rakyat kepada kita.”

Sidang komisi organisasi di hari terakhir kongres ini juga menyetujui Megawati sebagai formatur tunggal dalam penyusunan struktur Dewan Pengurus Pusar (DPP). Kongres juga menentukan salam PDI Perjuangan berupa jempol dan telunjuk membentuk lingkaran dengan tiga jari lain diacungkan.

Pada penutupan kongres, Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan terpilih menerima mandat dari peserta yang mencalonkan dirinya sebagai calon Presiden pada Sidang Umum MPR 1999.

“Saya siap menjadi Presiden RI karena saya ditugasi dan dicalonkan Kongres PDI Perjuangan,” kata Megawati.

Konsolidasi organisasi segera dilakukan. Berbagai rapat umum yang mengerahkan massa dilakukan di berbagai daerah. Puncaknya, Minggu, 14 Februari 1999, Jakarta merah total. Ratusan ribu massa PDI Perjuangan bergerak menuju Stadion Utama Senayan, Jakarta.

Hari itu, nama dan lambang PDI Perjuangan yang diketuai Megawati Soekarnoputri resmi dideklarasikan. PDI di bawah kepemimpinan Megawati resmi berganti nama menjadi PDI Perjuangan. Lambangnya gambar banteng bermata merah dan bermulut putih di dalam satu lingkaran.

Logo itu dibuat oleh tim kreatif yang dipimpin Triawan Munaf, yang kini menjadi Kepala Badan Ekonomi Kreatif RI. Lingkaran tegas yang melingkari gambar banteng itu diartikan sebagai terus-menerus, tanpa putus, memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Tidak ada istilah jeda atau istirahat; perjuangan yang senantiasa berkesinambungan. Lingkaran atau garis bulat itu menunjukkan “bulatnya tekad” dan kekompakan dalam satu kesatuan.

Tanduk yang kekar berarti partai ini berbasis kekuatan rakyat dan selalu memperjuangkan kepentingan rakyat. Mata merah tajam diartikan sebagai dapat melihat sejelas-jelasnya dan selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya ancaman dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Ketajaman mata itu membuat mampu mengatasi tantangan. Dan, moncong putih bersih diartikan dapat dipercaya dan komit untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Lambang ini akhirnya dipatenkan di Departemen Kehakiman RI dengan Nomor Register 1999-02-0028 pada 9 Februari 1999.

Selain lambang, PDI Perjuangan juga memiliki mars yang diciptakan oleh Guruh Soekarnoputra. Syair-nya berisi hymne serta doa panjang dan harapan; dipersembahkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa. Jika dinyanyikan dengan khusyuk sangat menyentuh relung hati terdalam. Khidmat.

Diskusi panjang juga dilakukan untuk menetapkan hari lahir PDI Perjuangan. Kala itu semua bersepakat, PDI Perjuangan merupakan kelanjutan dari PDI hasil fusi (penyederhanaan partai) pada 10 Januari 1973.

Dalam perjalanannya, terbukti kepemimpinan Megawati di PDI Perjuangan sangat kuat. Dia tidak membeda-bedakan suku dan agama dalam menentukan pengurus partai. Semua punya kesempatan selagi kapabel. Sikap tersebut tercermin dalam kebijakan-kebijakan partai. Sekat-sekat primordial tidak ada di PDI Perjuangan.

Pada 7 Juni 1999,  Pemilihan Umum (Pemilu) pertama terselenggara di era Reformasi. PDI Perjuangan memperoleh suara terbanyak pada Pemilu 1999 yakni sebanyak 33 persen suara. Panda yang juga ditugaskan menjadi calon legislatif mewakili daerah Jawa Barat (meliputi Bekasi dan Depok) juga lolos ke Senayan sebagai anggota parlemen.

Kemenangan PDI Perjuangan di Pemilu 1999 membuka peluang bagi Megawati Soekarnoputri untuk menduduki kursi Presiden Republik Indonesia, sesuai amanat kongres Bali tahun 1998. Ini adalah buah manis dari hasil perjuangan yang gigih dan penuh penderitaan.

Cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi (2021).