Jenderal TNI Benny Moerdani dan Letjen TNI Ali Moertopo

Suka atau tidak, rezim Soeharto memang mengajarkan merawat dendam kolektif berkepanjangan. PKI dan komunismenya yang sudah lama punah, diciptakan sebagai “hantu yang terus bergentayangan” di tengah masyarakat dan menjadi musuh utama tentara. Seolah nyata adanya.

Cap atau stigma PKI dipelihara dan dijadikan amunisi untuk memberangus siapapun yang dianggap membahayakan kekuasaan Soeharto. Begitu lama muslihat politik keji ini dijalankan, hingga banyak anggota masyarakat yang akhirnya percaya, turut memberi stigma, dan menghindari orang yang dicap PKI atau istilahnya : di-PKI-kan.

Siasat ini pun pernah dimanfaatkan oleh Panglima ABRI, Benny Moerdani yang sosoknya dikenal angker. Waktu itu, ia mengatasi kegegeran yang ditimbulkan oleh KSAD Jenderal Rudini yang membuat Soeharto tidak senang kepadanya.

Ketidaksenangan Soeharto berawal dari gebrakan Rudini yang ingin melakukan pembersihan di tubuh AngkatanDarat dari praktik korupsi. Rudini melancarkan Operasi Kartika dan meminta Panda mewawancarainya untukmengekspos operasi tersebut.

Pada masa itu, ada semacam peraturan tidak tertulis bahwa kepala staf angkatan tidak lazim diwawancarai. Panda jelas-jelas terkejut sekaligus senang mendapat wawancara eksklusif.

Rudini menceritakan bahwa operasi yang telah ia jalankan berhasil menindak sejumlah perwira tinggi serta perwira menengah di kalangan Angkatan Darat. Ia memaparkan bagaimana terjadi manipulasi dan korupsi dalam pengalihan hak (ruislag) tanah Angkatan Darat di daerah Jaga Monyet-Harmoni, Jakarta Pusat; di daerah Jalan Siliwangi – Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; RTM Budi Utomo, Jakarta Pusat, dan; beberapa kompleks Angkatan Darat di Jakarta.

“Bisa bayangkan bertahun-tahun anggaran untuk solar dan operasi sejumlah kapal Angkutan Laut TNI Angkatan Darat Secara Fiktif,” Kata Rudini. Belum lagi manipulasi dalam pembekalan lainnya.

Panda memperhatikan wajah dan mimik Rudini ketika memberikan penjelasan kepadanya. Ekspresinya geram. Berkali-kali, ia menyatakan tekadnya untuk melakukan pembersihan.

Begitu berita tersebut dimuat di Sinar Harapan, Masyarakat geger, terutama kalangan ABRI dan jajaran rezim Soeharto. Kepala Pusat Penerangan ABRI menelpon Pemimpin Redaksi Sinar Harapan dan Panda untuk menanyakan kebenaran sumber berita itu adalah Rudini.

Rupanya, langkah Rudini itu tidak mendapat restu dari Presiden Soeharto. Di sinilah jagonya Benny Moerdani dalam menerjemahkan dan memenuhi syahwat kekuasaan Soeharto, makanya ia diberi peran besar menjadi petinggi militer.

Menurut Panda, mungkin saja kemauan Soeharto tidak sejauh itu dan bisa saja Benny menerjemahkannya terlalu jauh. Ya sudah, mau bagaimana lagi, Benny memang selalu ingin menunjukkan bahwa dirinya yang terbaik dan ingin semua orang takut kepadanya.

Benny kemudian menerjemahkan ketidaksenangan Soeharto itu tanpa membuat Rudini marah. Caranya,tentara berpangkat kolonel yang menjadi pemimpin proyek pengalihan tanah-tanah Angkatan Darat itu di-PKI-kan.

Rumahnya di kompleks Zeni Angkatan Darat, Berland, Jakarta Timur, digeledah oleh intel-intel dari Bais.Katanya, di atas loteng rumah itu ditemukan 12 pucuk senjata serbu Cung buatan Cina, sejenis AK buatan Rusia, dan ada bendera Palu-Arit. Juga ada dokumen yang membuktikan dia terlibat dengan peristiwa di LubangBuaya, Jakarta Timur.

Informasi Rudini kepada Panda, pengusutan yang dilakukan Inspektur Jenderal Angkatan Darat terhadap sangKolonel terpaksa tidak lagi dilakukan. Karena, sang Kolonel yang di-PKI-kan itu menjadi urusan Kopkamtib, yang berada di bawah kekuasaan Benny Moerdani.

Inilah mengapa Soeharto menjalankan “politik belah bambu” agar bisa selalu mengontrol kalangan militer dan ia tetap berada di kursi kepresidenannya. Orang yang tidak sukai ia “injak”, sementara yang ia nilai dapat menyokong kekuasaannya “ditarik ke atas”.

Contohnya Benny Moerdani, karirnya mencorong. Ia adalah satu-satunya jenderal TNI yang menjadi Panglima ABRI tanpa pernah menjadi komandan teritorial. Meski ini juga menjadi cemooh beberapa jenderal, yang tentu saja dilakukan secara berbisik-bisik.

Cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi(2021).


Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Rudini