Berani. Satu kata yang pantas disematkan kepada Panda Nababan ketika ia meliput Tragedi Desa Losarang, yang berada di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Bekal yang dimiliki Panda ketika menjadi mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) menjadi ‘guru’ untuk menghadapi kejamnya rezim Soeharto.
“Que sera, sera,” batin Panda. Ia sedang teringat, pernah digebuki setelah lebih dulu disiram kopi panas. Kenangan itu terjadi jelang ia diinterogerasi di RTM Budi Utomo.
Namun, hari itu sudah beda lagi cerita. Saat itu Redaksi Surat Kabar Sore Sinar Harapan berkantor di kawasan Petakasem, Penjaringan, Jakarta Utara. Panda “dijemput” aparat Intelijen Pertahanan dan Keamanan (Hankam).
Panda yang masih menjadi reporter digelandang ke markas mereka di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Begitu tiba, Panda langsung diinterograsi sampai malam. Paginya, dibawa menghadap Mayor Jenderal Yoga Soegama, Asisten Intelijen Hankam. Di meja ruangan itu tergeletak sepucuk pistol.
Panda diserang, dituduh PKI, dan diancam akan dihabisi jika menulis hal yang bikin repot mereka lagi. Tulisan yang dimaksud adalah laporan eksklusif dalam salah satu edisi Sinar Harapan tahun 1971 yang akan dibagi jadi beberapa bagian di bawah judul “Empat puluh Lima Djam Bersama Orang Kuat NU”.
Beberapa bagian sudah direncanakan akan dimuat bersambung selama beberapa hari. Laporan pertamanya telah dimuat di halaman pertama dan beredar. Namun, ketika bagian kedua baru saja terbit dan diedarkan sebagian, Panda langsung diangkut.
Pada edisi tersebut, Panda menulis laporan terjadinya bentrok fisik antara Angkatan Muda Siliwangi (AMS) dan pasukan Barisan Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU).
Di Sinar Harapan, Panda memang ditugaskan menjalin hubungan dengan kalangan Islam. Ia pun makin memperkuat intensitas hubungan dengan tokoh-tokoh NU, yang umumnya vokal terhadap rezim Soeharto. Ia juga dekat dengan tokoh muda NU kharismatis dan cemerlang, Subchan Z.E.
Sementara itu, informasi mengenai apa yang terjadi di Desa Losarang itu ia dapat dari K.H. Muhammad Jusuf Hasyim atau yang akrab disapa Pak Ud. Beliau adalah putra bungsu pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Jadi, Pak Ud adalah paman Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan Ketua Pengurus Besar NU yang kelak jadi Presiden ke-4 RI.
Pak Ud adalah veteran Perang Kemerdekaan yang terjun ke dunia politik lewat Partai NU. NU pernah bergabung dengan Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi), tapi “pecah kongsi” pada tahun 1952.
Suasana politik saat itu memang makin panas jelang Pemilu 1971. Rezim Soeharto dengan Golkarnya sudah menampakkan wajah aslinya: suka main keras terhadap rival politiknya. Basis-basis NU di Pulau Jawa dihabisi. Pemandangan menyedihkan pun terjadi. Kantor Pengurus Besar NU dibanjiri pengungsi, sebagian besar dari pedalaman Jawa Barat. Ekspresi para warga NU itu benar-benar ketakutan.
Waktu Panda bertemu Pak Ud di kantor PBNU, wajahnya tegang. Bahasa tubuhnya mengisyaratkan keresahan yang bergolak di rongga dadanya. Pak Ud kemudian mengajak Panda meliput luluh-lantaknya basis-basis NU di Indramayu. Tepatnya Desa Losarang, yang warganya paling banyak mengungsi ke Jakarta. Begitu tiba di sana, Panda kaget luar biasa.
Desa itu hanya tinggal puing-puing. Rumah penduduk dan masjid banyak yang dihancurkan dan dibakar. Lembaran-lembaran Al-Quran tersebar di jalanan dekat masjid. Beberapa rumah yang masih terlihat bentuknya, kondisinya sungguh mengenaskan. Ada meja makan yang di atasnya masih tersaji makanan di piring-piring—yang sudah membusuk—dan beberapa mug kaleng berisi air minum. Hati Panda terasa pilu.
Pak Ud kemudian mengajaknya kembali ke Jakarta. Panda menolak. Pikirnya, tak mungkin ia dapat menulis berita yang lengkap dan berimbang mengenai tragedi mencekam itu jika hanya liputan selama kurang dari sehari. Setidaknya, harus tinggal satu hari lagi.
Ia langsung menyisir desa yang sangat sepi tersebut. Berkeliaran sendiri sampai malam dan mewawancarai beberapa warga yang bertahan. Keesokan malamnya, Panda disergap, ditangkap, dan dibawa ke markas kodim.
Panda diinterogasi. Pertanyaannya terutama seputar tokoh-tokoh NU dari Jakarta. Setelah enam jam, tiba-tiba seorang aparat membawa wartawan Asahi Shimbun. Situasi ini dimanfaatkan Panda dengan mengatakan bahwa penangkapan wartawan, apalagi ada wartawan Jepang, bisa jadi urusan panjang yang menggemparkan dunia. Keduanya pun dibebaskan dan langsung kembali ke Jakarta dengan naik bus.
Hasil liputan itulah yang rencananya akan Panda tulis menjadi beberapa bagian laporan berita, yang kemudian membuatnya kembali dijemput aparat di kantor Sinar Harapan dan dibawa ke markas angker tesebut.
Asisten Intelijen Hankam itu memerintahkan Panda untuk berhenti menuliskan laporan itu. Koran Sinar Harapan juga diperintahkan segera menarik laporan kedua yang sebagian sudah beredar di Jakarta dan sekitarnya.
“Kalau tidak ditarik, Sinar Harapan akan diberedel,” katanya. Begitu dilepaskan, Panda langsung meluncur ke kantor. Sinar Harapan edisi hari itu yang belum sempat diedarkan, ditarik.
Bukan hanya NU, Parmusi juga dibikin babak-belur. Tahun 1968, kongres Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di Malang, Jawa Timur, dibikin kisruh. Ketua Umum Parmusi terpilih tidak direstui pemerintah. Ia adalah Mohammad Roem, pernah aktif dan memimpin Masjumi, yang oleh rezim Soeharto dinilai pernah melakukan kekeliruan.
Pemerintah lalu menetapkan Djarnawi Hadikusumo sebagai ketua umum partai, dan Lukman Harun sebagai sekretaris jenderalnya. Namun, setahun jelang Pemilu 1971, kepemimpinan Djarnawi-Lukman dikudeta oleh Djaelani Naro (lebih dikenal sebagai Djon Naro) dan kawan-kawannya, yang dikenal sebagai “kubu akomodasionis”.
Djon Naro dekat dengan Ali Moertopo, yang terkenal dengan Operasi Khusus-nya. Dengan dukungan pemerintah, Naro dan kubunya membuat muktamar khusus dan memecat Djarnawi. Sebaliknya, Djarnawi pun memecat Naro dari keanggotaan partai karena dianggap melanggar disiplin partai.
Setelah itu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 1970, yang mengangkat H.M.S. Mintaredja sebagai Ketua Umum Parmusi.
Mintaredja memang orang Soeharto. Ia diangkat sebagai Menteri Negara Penyelenggaraan Hubungan antara Lembaga Tinggi Negara di awal masa Soeharto berkuasa. Jadi, ia dinilai bukan dari kalangan Islam garis keras, tapi dari kubu akomodatif. Orangnya juga flamboyan. Beda dengan Djarnawi.
Mintaredja pernah mengaku sendiri kepada Panda, bahwa sikap akomodatif diperlukan karena memimpin partai tidak mudah; harus bisa menjaga keseimbangan antargolongan. Sementara itu, hampir seluruh kekuatan Masjumi ada di Parmusi.
Setelah Panda menulis berita tentang luluh-lantaknya Losarang digilas rezim brutal penguasa, semakin banyak tokoh Islam menaruh respek kepadanya sebagai wartawan. Mereka semakin membuka diri dan percaya kepadanya, meski ia bukan muslim. Tokoh Islam yang dekat dengan Panda salah satunya adalah Mintaredja.
Sewaktu baru terpilih jadi Ketua Umum Parmusi, Mintaredja pergi ke daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk sosialisasi. Satu-satunya wartawan yang diajak adala Panda. Mereka terbang dengan pesawat khusus yang dipinjamkan oleh Presiden.
Selama dalam perjalanan, keduanya banyak berdiskusi. Dalam kesempatan itu, Mintaredja juga menceritakan karakter tokoh-tokoh politik Islam yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan bangsa dan negara.
Panda memperhatikannya bercerita dengan sangat emosional. Saat mau terbang dari Jambi menuju Bengkulu, wajahnya tegang menahan marah. Ia lalu menenangkan diri dengan membaca ayat-ayat Al-Quran. Butir-butir tasbihnya terus bergerak.
Sejak itu, Panda banyak belajar soal politik darinya. Panda mengaku Mintaredja adalah salah satu mentornya di dunia perpolitikan, untuk lebih mengenal politisi Islam.
Kedekatan dengan tokoh-tokoh politik Islam membuat Panda menjadi salah seorang wartawan yang mengetahui benar proses partai-partai Islam berfusi jadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973. Deklarasi pembentukan PPP ditantadatangani oleh K.H. Idham Chalid dan K.H. Masykur dari NU; H.M.S. Mintaredja dari Parmusi; Anwar Tjokroaminoto dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan; Rusdi Halil dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Mintaredja dipercaya sebagai ketua umum DPP dan K.H. Idham Chalid jadi presiden partainya. Yang duduk di kursi rois ‘aam majelis syuro partai itu adalah K.H. Bisri Sjamsuri.
Pengalaman Mintaredja di birokrasi pemerintahan dan dunia politik terbilang panjang dan berwarna. Mulai dari seorang sarjana hukum yang jadi Ketua Pengadilan Negeri Sumedang, Jawa Barat, lalu anggota MPRS, anggota DPR Gotong Royong, anggota DPA, Menteri Sosial, dan terakhir sebagai Duta Besar RI untuk Turki.
Ia juga pernah duduk di Majelis Hikmah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, anggota Pleno PP Muhammadiyah, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta. Jauh sebelum itu, ia adalah salah satu tokoh perintis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Sebagai menteri negara, Mintaredja punya seorang staf pribadi, Jusuf Gading. Melalui Jusuf Gading inilah Panda diperkenalkan dengan adik istrinya, Surya Paloh. Surya kelak mendirikan harian Prioritas bersama Panda.
Mintaredja wafat di Jakarta pada 20 Oktober 1984, pada usia 63 tahun. Meski punya peran besar dalam perjalanan republik ini, semasa hidupnya ia telah berwasiat tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan. Jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Selain dari Mintaredja, Panda banyak mendapat “ilmu politik” dari Zain Badjeber. Wawasan Panda mengenai peta kekuatan politisi Islam jadi lebih luas. Zain juga yang membuka jalur perkenalan Panda dengan lebih banyak politisi Islam. Menurut Panda, Zain adalah pribadi yang cerdas. Pengetahuannya tentang Islam dan politik Islam luas. Dia seperti perpustakaan bagi Panda.
Waktu Panda jadi wartawan, Zain adalah Kepala Sekretariat DPP PPP di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Dia banyak memberi informasi terkait PPP kepada Panda, antara lain mengenai hubungan antartokoh di partai berlambang Kabah itu. Pun, tiap ada isu atau peristiwa terkait umat Islam, Panda selalu menjadikan Zain Badjeber sebagai referensi.
Sewaktu jadi anggota DPR, Panda dan Zain sama-sama di Komisi II, yang membidangi hukum. Zain bertugas di Senayan lebih dulu. Dia sudah menjadi wakil rakyat sejak tahun 1970-an dan terakhir pada tahun 2004. Zain pernah menjabat Ketua Badan Legislatif DPR dan salah seorang perancang Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam sebuah rapat paripurna perdana, Panda mengatakan bahwa hubungan pribadinya dengan Zain Badjeber bisa dijadikan contoh kerukunan di parlemen, khususnya antara politisi Islam dan kalangan nasionalis.
—
Cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi(2021).