Oleh Wartawan Senior Panda Nababan

REPUBLIK ketika itu kecewa dan bersedih di pengujung 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Betapa tidak? Korupsi marak, sampai meninggalkan “tugu peringatan” Hambalang dan ada enam menterinya dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Saat itu, suara kejiwaan politik rakyat Indonesia menginginkan Presiden yang bersih dari korupsi dalam totalitasnya. Berani, tegas, hidup sederhana, dan seluruh keluarganya tidak berbakat, apalagi terlibat, mengorupsikan kekuasaan sang Presiden. Saat itu juga, secara jujur, tidak ada satu mesin politik pun yang mencoba menjawab keinginan politik rakyat Indonesia tersebut.

Kilas balik: Republik merdeka pada tahun 1945, namun 15 tahun pertama jalannya pemerintahan Presiden Soekarno adalah tahun-tahun yang gawat, yang diwarnai dengan pertumpahan darah akibat adanya perang saudara. Ada pemberontakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang “melahirkan” pahlawan Slamet Riyadi; ada pula perebutan Irian Barat yang “menciptakan” pahlawan Yos Sudarso.

Serangkaian perang saudara pada rentang waktu itu pun seakan tiada habis-habisnya, dari mulai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun sampai pengkhianatan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/ TII) di Aceh dengan Daud Beureuh, di Sulawesi dipimpin Kahar Muzakkar, serta di Jawa Barat didalangi Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Secara jujur, di 15 tahun pertama itu tidak ada ke sempatan yang tenang, damai, dan terukur bagi Soekarno sebagai Presiden dalam menakhodai pemenuhan kemaslahatan rakyat. Ketika itu, kabinet selalu seumur jagung, silih berganti, dan pergolakan militer meledak di berbagai daerah, seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/ Permesta) di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Suma tera Selatan, dan Sulawesi Utara.

Di kurun waktu itu pula, Republik Indonesia sempat tenggelam dan diganti dengan negara federal, Republik Indonesia Serikat (RIS, 1949), walau memang Soekarno tetap menjadi Presiden RIS. Setelah melewati pergolakan yang begitu panjang, dengan korban sesama rak yat Indonesia, ratusan ribu orang tewas, Presiden Soekarno pada tahun 1959 mencanangkan Dekrit “Kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.”

Kalau dilihat dari kenyataan sejarah, Soekarno baru betul-betul menjadi Presiden dalam kehidupan yang normal—yang ketika itu disebut Demokrasi Terpimpin— dimulai pada tahun 1959 itu. Dan, hanya dalam enam tahun kemudian meledak peristiwa 30 September 1965, yang melibatkan PKI dan Angkatan Darat.

Kala itu, Presiden Soekarno mengeluarkan apa yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), yang pada hakikatnya adalah menugaskan Jenderal Soeharto untuk menjaga dan melindungi kehidupan Presiden Soekarno. Tetapi, apa lacur, Supersemar oleh Soeharto dimanipulasi dan secara kasat mata digunakan untuk menyingkirkan Soekarno dari Istana Merdeka, Jakarta.

Apa pun itu, Soekarno berhasil mewariskan kepada bangsa ini Pancasila dan sebagai proklamator sampai akhir hayatnya mengawal kesatuan dan persatuan dari seluruh negeri.

Sangat berbeda dengan masa pemerintahan Soekarno selama 20 tahun, Jenderal Soeharto dengan kekuatan militer yang digenggamnya berhasil berkuasa selama 32 tahun tanpa ada pemberontakan atau pergolakan politik yang berarti. Hal ini bisa dinikmati Soeharto karena memang karakter kepemimpinan pemerintahannya sangat keras, represif, dan otoriter. Siapa pun yang berani melawan langsung ditumpas.

Setelah Presiden Soeharto tumbang relatif pemerintahan berikutnya hanya berusia seumur jagung, yakni Presiden Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (Gus Dur, 1999-2001), dan Megawati (2001-2004). Ketiga tokoh yang menjadi Presiden di era awal Orde Reformasi itu tidak berhasil meninggalkan kesan yang berarti dan mendalam di hati rakyat, karena singkatnya usia pemerintahan mereka.

SBY berhasil memerintah Indonesia selama 10 tahun (2004-2014). Yang parahnya, tidak ada peninggalan sejarah yang ditorehkan sebagai kenangan kebanggaan di hati rakyat. Suasana kebatinan yang galau itulah memengaruhi mayoritas rakyat Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) Tahun 2014. Mereka ingin Presiden yang sungguh-sungguh mencintai mereka.

Ketika itu, berbagai tokoh politik malang-melintang bagai artis di pentas pemilihan ratu kecantikan. Tetapi, sepertinya, rakyat Indonesia belum menemukan seorang sosok yang menjadi idamannya.

Saat itu memang mesin politik PDI Perjuangan sudah mempersiapkan diri untuk memenangkan pertarungan di Pilpres. Tetapi, secara jujur, PDI Perjuangan belum dapat menentukan siapa tokoh yang dimaksud.

Memang, keputusan Kongres PDI Perjuangan sebelumnya telah memberikan hak prerogatif kepada Ketua Umum Megawati untuk menentukan siapa calon Presiden yang akan diusung.

Ketika itu, saya berada di pusaran-yang-dalam ketika terjadi proses penentuan Jokowi sebagai calon Presiden. Diawali pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Eco Park, Ancol, Jakarta Utara, pada awal tahun 2014.

Pada Rakernas hadir para pimpinan dari 33 dewan pimpinan daerah (DPD) PDI Perjuangan se-Indonesia. Saya sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara merupakan satu-satunya orang yang mengajukan Jokowi sebagai calon Presiden. Saya harus menghancurkan keraguan itu.

Dari atas podium, saya “ledakkan” pencanangan Jokowi sebagai calon Presiden dari PDI Perjuangan, yang membuat suasana mendadak riuh dan hiruk-pikuk. Karena, membuat pernyataan di luar dari hak prerogatif terse but dianggap diluar pakem dan itu adalah tabu. Itu sebabnya, banyak yang menganggap apa yang saya nyatakan di Rakernas sebagai perbuatan yang lancang dan kontroversial.

Bahkan, ketika para pimpinan pusat dan daerah partai dikumpulkan Megawati di Istana Batutulis, Bogor-Jawa Barat, Megawati saat itu cukup emosional dan menuding saya sambil berkata dengan ketus: “Panda, apa kamu sudah kenal Jokowi? Apakah kau sudah tahu kemampuannya? Jangan njeplak-njeplak begitu mengusulkan Jokowi sebagai calon Presiden.”

Saat itu juga, dengan lugas, saya membantah Megawati dan saya tetap dengan keyakinan saya bahwa Jokowilah yang pantas menjadi calon Presiden Republik Indonesia. Dalam perjalanan waktu yang terjadi, suatu kebahagiaan tersendiri di lubuk hati saya yang dalam, serta penuh kegembiraan, melihat Megawati kemudiannya sangat menyukai Jokowi. Bahkan, di periode pertama kepemimpinan Jokowi, Megawati memberikan banyak puja-puji kepada Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia yang sukses.

Sejarah juga membuktikan semua rakyat Indonesia terkesima, pada usia tujuh tahun pemerintahan Jokowi, rakyat sudah melihat dengan nyata bagaimana pesatnya pembangunan di seantero Indonesia. Berbagai pelabuhan udara perintis ditingkatkan menjadi pelabuhan udara internasional. Demikian juga pelabuhan-pelabuhan samudera.

Ribuan kilometer jalan raya bebas hambatan pun dibuat. Sertifikat tanah juga dibagikan kepada jutaan rakyat Indonesia. Berbagai perusahaan tambang yang selama ini dikelola pemodal asing dan telah merengkuh triliunan rupiah harta bangsa ini juga berhasil diselamatkan. Puluhan tahun harga bahan bakar minyak yang menggila di Papua berhasil diturunkan sehingga sama dengan harga di daerah-daerah lain. Bahkan ribuan desa diseantero Indonesia yang puluhan tahun luput dari perhatian presiden-presiden sebelumnya kini mendapat dana desa hingga Rp 70 triliun.

Ini baru cuplikan kecil dari kisah sukses Presiden Jokowi, yang membuat rakyat terpincut hatinya untuk memilih dia lagi. Apalagi, selama ini, Presiden Jokowi betul-betul 100% bersih dari korupsi, termasuk bersih dari rumor korupsi yang biasanya terjadi pada setiap Presiden sebelumnya, karena cengkeraman kekuasaannya cenderung bersahabat dengan korupsi, terkecuali Soekarno yang bersih dari korupsi dan di hari tuanya “miskin”.

Saat ini, rakyat terperangah dan seakan baru timbul kesadarannya bahwa selama 10 tahun pemerintahan SBY—dengan anggaran belanja negara yang hampir serupa dengan masa pemerintahan Jokowi—kok tidak bisa menghasilkan prestasi yang menyejahterakan rakyat sebagaimana yang dilakukan Jokowi.

Kepemimpinan Presiden Jokowi tinggal tiga tahun lagi. Tetapi, sudah mulai timbul perdebatan, apakah Jokowi akan meneruskan pemerintahannya untuk tiga periode atau sudah cukup dua periode saja. Polemik sudah mulai terjadi.

Bahkan, gerakan-gerakan politik sudah mulai menggeliat antara yang pro dan yang kontra Jokowi lanjut ke periode ketiga atau tidak.

Memang, secara hukum dan undang-undang tidak dimungkinkan Jokowi untuk menjadi Presiden tiga periode. Tetapi, harus diakui, pengalaman pahit rakyat Indonesia yang punya sejumlah Presiden yang tidak berhasil sejahterakan rakyatnya membuat ada kerinduan agar Jokowi tetap memimpin republik ini. Bisa dipahami jika ada suara-suara yang menginginkan Jokowi terus memimpin republik ini selama tiga periode.

Salah satu sila dari Pancasila adalah Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Jadi, 260 jutaan rakyat Indonesia sekarang punya perwakilan di DPR (575 anggota) dan di DPD (136 anggota) yang bersekutu di MPR (711 anggota). Sesuai dengan UUD 1945, mereka adalah perwakilan yang dimaksud dalam sila keempat Pancasila. Artinya, mayoritas dari ke-711 anggota MPR mampu dan dapat melakukan perubahan atas UUD 1945, termasuk mengoreksi periodesasi masa jabatan Presiden, kalau mau. Sekali lagi: kalau mau.

Bila memang masa jabatan Presiden di UUD 1945 tidak dimungkinkan untuk diubah lagi, padahal rakyat menginginkan Jokowi untuk terus memimpin republik ini, pilihannya hanya satu: memilih sosok calon Presiden yang minimal punya kapasitas dan kapabilitas seperti Jokowi. Alangkah sedihnya bangsa ini kalau nantinya punya Presiden yang kapasitas dan kapabilitasnya di bawah Jokowi.

Jadi, kalau begitu, apa mesti Jokowi lagi? []

[Dimuat di Majalah Keadilan Edisi 68, 03 Mei-13 Juni 2021]