PANDAPOTAN MARULI ASI NABABAN. Begitulah nama lengkapnya. Namun, banyak orang mengenal dirinya sebagai Panda Nababan atau Panda saja. Para juniornya banyak yang menyapa dirinya dengan panggilan Bang Panda.

Uniknya, yang menyapa dengan panggilan Bang Panda bukan hanya junior yang usianya hanya terpaut beberapa tahun. Namun, yang usianya sangat jauh di bawahnya juga memanggil seperti itu.

Dari sini bisa dilihat, panggilan tersebut tampaknya bukan semata-mata untuk menghormati seorang Panda Nababan yang terlahir lebih dulu dari orang yang memanggilnya. Bukan sekadar penanda senioritas, tapi lebih dari itu.

Yang “lebih dari itu” akan sangat terasa bila kita menyaksikan langsung situasinya dalam bahasa lisan, bahasa percakapan. Akan terasa terdengar nada penghormatan, respek, sekaligus keakraban dari panggilan tersebut, yang merefleksikan semacam rasa sayang yang memang sudah seharusnya diberikan kepada Bang Panda.

Orang-orang yang bergaul, berinteraksi, dengan Panda Nababan kemungkinan besar akan setuju dengan pandangan tersebut. Karena, Panda punya kepedulian yang tinggi, bahkan terhadap orang-orang yang baru ia kenal atau baru mengenal dirinya.

Untuk orang seusianya, ia merupakan teman diskusi dan bertukar pemikiran yang menyenangkan. Untuk para juniornya, Bang Panda bukan “hanya” sosok yang selalu mengayomi, tapi juga seorang senior yang tak pelit berbagi, termasuk ilmu dan pengalamannya yang panjang, terutama dalam bidang kewartawanan dan politik.

Jadinya, nama lengkap pemberian orang tuanya cocok benar ia sandang. Dalam bahasa Batak, Pandapotan Maruli Asi artinya adalah “mendapatkan bersama kasih”. Tak berlebihan kiranya bila dikatakan,siapa yang berinteraksi dengan Panda Nababan bukan hanya akan mengenal sosoknya, tapi juga akan dapat merasakan kepeduliannya.

Panda Nababan lahir di Siborong-borong, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 13 Februari 1944. Siborong-borong adalah sebuah desa yang menjadi cikal-bakal marga Nababan. Letaknya di punggung Pegunungan Bukit Barisan, 1.200 meter di atas permukaan laut dan kini telah berwajah “kota” karena berjarak kurang-lebih 16 kilometer dari Bandar Udara Internasional Silangit.

Ayah dan ibu Panda Nababan adalah pasangan guru. Ayahnya bernama Jonathan Laba Nababan, yang merupakan putra dari pedagang kerbau, Natanael Nababan. Ibunya Erna Intan Dora Lumban Tobing, putri dari Pendeta Jorbed Lumban Tobing. Pasangan ini dikaruniai 11 orang anak, yang salah seorang di antaranya wafat ketika masih kecil.

“Sejak kami kecil, Ayah dan Ibu sudah mengajarkan sikap toleran dan saling menghargai sesama manusia. Di kemudian hari, sikap ini benar-benar berguna bagi saya dalam menjalani lingkungan pergaulan yang heterogen, termasuk dengan orang-orang yang berbeda keyakinan agamanya. Yang juga ditanamkan Ayah dan Ibu kepada anak-anaknya adalah sikap hemat, cermat, dan jujur. Berkali-kali, bahkan sampai kami dewasa, orang tua kami mengingatkan kami agar jangan membeli sesuatu yang penting, tapi belilah yang paling penting. Tak lupa, mereka berpesan agar anak-anaknya senantiasa memegang teguh ajaran agama dan selalu berdoa,” tutur Panda.

Pada tahun 1949, karena pergolakan Revolusi Kemerdekaan, J.L. Nababan memboyong keluarganya pindah dari Siborong-borong ke Pematang Siantar. “Kami berdiam di ibu kota Kabupaten Simalungun itu hampir lima tahun. Saya sempat bersekolah sampai kelas empat di Sekolah Rakyat Kristen,” kata Panda.

Di kota inilah, menurut pengakuan Panda, ada dua peristiwa di masa kecilnya yang sangat membekas di benak dan jiwanya serta berpengaruh pada perjalanan hidupnya. “Peristiwa pertama terjadi saat saya berusia enam tahun. Waktu itu, saya tanpa sengaja memecahkan stoples penjual bonbon [permen]. Oleh penjual itu, saya dihukum, dilucuti pakaian saya, lalu disuruh pulang dalam keadaan telanjang, supaya waliku menebus kerugian atas pecahnya stoples tersebut,” ujarnya.

Peristiwa kedua terjadi ketika Panda berusia tujuh tahun. Dia bersama abang dan adiknya dihukum karena mandi di kolam ikan di Kebun Binatang Pematang Siantar. Saat sedang mandi, pakaian mereka diambil petugas keamanan kebun binatang itu. Akibatnya, mereka bertiga terpaksa pulang dalam keadaan telanjang bulat.

“Semua peristiwa di atas membuat alam bawah sadar saya erat dengan aroma hukum-menghukum. Mungkin karena itulah, tanpa sepenuhnya saya sadari, saya merasa terpanggil untuk memasuki ranah hukum lebih jauh dan lebih dalam, di antara gelombang kekuasaan militer yang mencengkeram kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa rezim Soeharto,” kata Panda.

Panda memang kelak tidak menjadi ahli hukum secara akademis. Namun, dia pernah menjadi anggota komisi hukum di DPR-RI selama belasan tahun. Sebagai anggota parlemen, namanya juga populer. Bukan hanya vokal menyuarakan penderitaan rakyat, tapi juga kerap melontarkan interupsi di sidang-sidang para wakil rakyat. Ia sempat dijuluki sebagai “monster interupsi” oleh kawan-kawannya di DPR-RI.

Dunia politik memang telah ia jalani jauh sebelum menjadi anggota parlemen. Dia pernah belajar politik langsung dari Bung Karno, ketika masih menjadi mahasiswa Universitas Bung Karno Jakarta. Namun, karena itu pula, ketika rezim penguasa berganti, Panda menjadi salah seorang dari jutaan soekarnois yang diburu oleh aparat militer rezim Soeharto untuk di-PKI-kan. Panda pernah diculik tentara dan kemudian dua kali dijebloskan penjara tanpa pernah diadili. Dia sempat merasakan “angker”-nya Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, Jakarta.

Lepas dari penjara, ia secara tidak sengaja masuk ke jagat kewartawanan. Mantan dosennya mengajak dia bekerja sebagai wartawan di koran Warta Harian. Karena reputasinya, meski belum lama menjadi wartawan, Panda “dibajak” oleh Aristides Katoppo untuk memperkuat jajaran wartawan investigatif di harian sore Sinar Harapan.

Nama Panda kemudian berkibar-kibar sebagai wartawan investigatif di Tanah Air. Ia menjadi legenda. Karir kewartawanannya juga terbilang lengkap, mulai dari wartawan hiburan, wartawan balaikota, wartawan istana, sampai menjadi wartawan perang. Padahal, ia mendedikasikan hidupnya di dunia kewartawanan kala rezim Soeharto berkuasa, rezim yang pernah membuat hidupnya “babak belur”.

“Dalam tugas kewartawanan, yang membuat aku mudah, dengan latar belakang kekerasan, permusuhan, dan intimidasi, aku tidak terjebak, tercengkeram, atau kemudian terpatri dalam kebencian atau sakit hati. Saya keluar dari situ. Ada teman-teman wartawan saya yang mau mendatangi saja sudah merasa benci, bilang ‘aku enggak suka militer’, ‘enggak suka jenderal ini’. Itu di dalam kamusku tidak ada, walaupun aku tahu orang ini penipu, fasis, kejam, segala macam. Ini yang aku lihat menjadi kisah suksesku selama menjadi wartawan dan orang kemudian melihat aku bisa menjadikan musuh sebagai teman. Jadi, tugas kewartawanan itu aku jalankan tidak termanipulasi oleh subyektivitas. Di situlah kemudian wartawan bisa menjadi obyektif.”

Di sisi lain, untuk melawan kesewenang-wenangan penguasa, Panda mengikuti ajaran gurunya, Bung Karno, untuk terlibat dalam partai politik sebagai bagian dari upaya pembentukan kekuatan (machvorming) dan menggunakan kekuatan itu (machtaadwending). Pada tahun 1993, misalnya, ia didapuk untuk menjadi Ketua Tim Pemenangan Megawati Soekarnoputri Menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Lewat jalan terjal dan berliku, Megawati akhirnya berhasil menjadi Ketua Umum PDI.

Ketika gerakan Reformasi bergulir, Panda juga tidak tinggal diam—meski waktu itu hanya kalangan aktivis dan sejumlah politisi saja yang benar-benar mengetahui bentuk perlawanan seperti apa yang dia lakukan terhadap rezim militer yang sedang berkuasa. Bersama Megawati, Taufiq Kiemas, dan sejumlah tokoh lain, ia kemudian mendirikan PDI Perjuangan, yang dengan cepat menjadi partai besar dan kini menjadi partai yang sedang berkuasa (ruling party). Panda pernah menjadi ketua dewan pimpinan pusat partai tersebut dan selama lebih dari delapan tahun menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Sumatera Utara.

Kini, Panda Nababan kembali lagi menjadi wartawan, pekerjaan yang ia senangi dan disukai juga oleh istrinya, Ria Purba (almarhumah), daripada menjadi anggota DPR. Ia mendirikan Majalah Hukum dan Politik Keadilandan menjadi pemimpin redaksinya sampai sekarang.

“Saya sejak di Sinar Harapan memang sudah punya keinginan untuk dikenang sebagai wartawan bila kelak tutup usia. Saya ingin epitaf di batu nisan saya dituliskan saya sebagai wartawan. Bagi saya, menjadi wartawan adalah satu kebanggaan dan kehormatan,” kata Panda.

Pengalaman panjangnya sebagai wartawan legendaris dan politisi kawakan telah ia tuangkan dalam buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi (2021). Tak dapat dinafikan, otobiografi yang terdiri dari dua buku ini perlu dibaca wartawan, politisi, anggota parlemen, birokrat, peminat sejarah, mahasiswa, dan siapa pun yang ingin mengetahui lebih jauh apa yang sesungguhnya terjadi di balik berbagai peristiwa besar yang pernah terjadi di negara ini, sejak zaman Presiden Soekarno sampai masa Presiden Jokowi. []

Segera diluncurkan

Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi

Buku terbaru yang ditulis oleh Panda Nababan dan diterbitkan pada Juli 2021, bertajuk Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi. Otobiografi ini dibagi menjadi dua buku, yang tebalnya bila digabungkan lebih dari 1.000 halaman.

Sub-judul buku pertama adalah Menunggang Gelombang. Buku kedua memiliki sub-judul Dalam Pusaran Kekuasaan.


Baca Resensi