Idealita seorang Panda Nababan sebagai wartawan tak luntur meskipun kala itu ia duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat. Sebagai pendiri sekaligus kader PDI Perjuangan, Panda kerap berdiskusi dengan dengan tokoh dan pejabat yang duduk di Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Normalnya sebagai partai oposisi, Panda harusnya minim informasi sekitar istana. Apalagi, sebagai wartawan senior, kiprahnya telah membuat Panda dimusuhi penguasa.
Namun, bukan itu realitanya. Ia justru dekat dengan para petinggi kekuasaan termasuk menteri kehakiman, para jaksa agung, dan aparatur hukum. Intinya, ia tak pernah berada jauh dari pusat kekuasaan. Dalam buku otobiografi Panda Nababan “Lahir Sebagai Petarung” yang ia tuliskan, Panda merasa dirinya sedang berselancar di tengah gelombang tinggi lautan. Namun dengan santainya ia hanya menyebut pengalaman itu sebagai “semacam paradoks”.
Menurut Panda, kedekatannya dengan banyak tokoh terjadi karena mereka percaya. “Para tokoh itu dapat menilai bagaimana sikap dan integritas saya yang membuat mereka tidak ragu-ragu menjalin hubungan baik dengan saya,” jelas Panda.
Oleh karena itu, Panda dapat bergaul dan berteman dengan siapa saja, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup yang ia yakini kebenaran dan kebaikannya.
Ada satu cerita menarik yang membekas di memorinya, tentang Jaksa Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Hendarman Supandji yang menemui Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi. Kala itu Hendarman belum menjadi Jaksa Agung.
Sekitar tahun 2004, Panda ingin menemui Sudi Silalahi di kantornya yang berada di lantai dua Gedung Sekretariat Negara.
Naluri kewartawanan Panda pun muncul ketika melihat Hendarman Supandji berjalan di sebuah lorong. Menurut Panda, Hendarman tidak menyadari keberadaannya.
Ketika bertemu dengan Sudi, Panda pun menanyakan perihal kedatangan Jampidsus Hendarman Supandji. “Pak Sudi, itu ngapain Jampidsus datang ke sini?” tanyanya.
“Wah, pusing kepalaku,” sontak Sudi mengeluh.
Ketika itu, nama Surya Paloh beredar di media karena ia sedang terjerat dalam kasus dugaan penyalahgunaan kredit Bank mandiri sebesar Rp160 miliar ke PT Cipta Graha Nusantara (CGN), yang menjadi pemilik Hotel Tiara di Medan. Atas dasar persahabatan, Sudi menceritakan Presiden SBY berubah pikiran dalam mengusut kasus Surya Paloh itu.
“Sebelumnya SBY meminta saya untuk mengikuti perkembangan kasus Surya Paloh di kejaksaan. Eh, karena Presiden diserang terus sama media Surya Paloh, Metro TV dan Media Indonesia. Sekarang berubah lagi perintahnya,” terang Sudi kepada Panda.
Itulah alasan mengapa Hendarman menemui Sudi. Ia menyampaikan kepada Hendarman bahwa kasus Surya Paloh sudah tidak lagi menjadi perhatian Presiden.
Panda yang penasaran dengan informasi dari Sudi itu mendatangi Hendarman Supandji keesokan harinya. Hendarman pun mengaku heran karena ia tahu sebelumnya kasus Surya Paloh tersebut menjadi perhatian Presiden.
“Saya juga enggak tahu ini maunya apa. Padahal, saya sudah usut, sudah ada pemanggilan-pemanggilan. Tapi, ya, sudahlah, kalau memang perintahnya begitu,” kata Hendarman.
“Lho, dari aspek hukumnya bagaimana? Kok jadi begitu?” tanya Panda.
Hendarman tak banyak membahas lebih lanjut. Ia pasrah dan mengatakan pada Panda untuk sama-sama tidak usah ikut campur.
“Sudah tingkat tinggi ini,” katanya.
Dari situlah Panda akhirnya menjadi sangat dekat dengan Hendarman. Saking dekatnya, Panda diperbolehkan untuk merokok di ruang kerjanya, padahal Hendarman sendiri tidak merokok. Setiap Panda datang, Hendarman langsung mengambilkan asbak untuknya. Panda merasa diistimewakan dan kedekatan tersebut terus berlangsung hingga Hendarman menjadi Jaksa Agung yang dilantik pada 9 Mei 2007.
“Mungkin dia heran, saya yang waktu itu berasal dari partai oposisi pemerintah, kok, bisa sampai tahu informasi tingkat tinggi,” kata Panda.
Panda juga cukup dekat dengan Jaksa Agung Basrief Arief. Pertemanan Panda dengan Basrief jauh sebelum dia menjadi Jaksa Agung, sewaktu Panda masih menjadi wartawan di Majalah Forum Keadilan. Tak hanya Basrief, ketika menjadi wartawan, Panda pun memiliki hubungan dekat dengan Jaksa Agung, Ali Said, Ismail Saleh dan Baharuddin Lopa.
Meskipun masa rezim Soeharto nama Panda sebagai wartawan masuk daftar hitam penguasa, ia tetap bisa menjalani hubungan baik dengan para petingginya, baik dari kalangan sipil maupun militer.
Mungkin itu juga sebabnya, Panda tidak pernah mau berlarut-larut terbawa perasaan sentimental, seperti berprasangka buruk bahwa tidak ada satu pun pejabat di rezim Soeharto yang berwatak baik, lurus, dan punya prinsip yang benar dalam menjalankan tugas. Ia tidak mau menaruh dendam kepada siapa pun, termasuk orang-orang yang telah menganiaya dan menzaliminya.
“Perasaan-perasaan negatif itu terlampau mahal untuk bisa saya miliki, terlebih sewaktu saya menjalani kehidupan yang keras,” kata Panda.
Cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi (2021).