FRIKSI dalam suatu partai politik biasa terjadi di antara sesama kadernya, tak terkecuali di Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan. Pada tahun 2005 lampau, misalnya, ada kader PDI Perjuangan yang tak merasa puas dengan keputusan kongres. Bahkan, mereka kemudian keluar dan mendirikan partai baru. Mereka yang merasa tidak puas antara lain Roy B.B. Janis dan Laksamana Sukardi.
Tiga tahun kemudian, tahun 2008, giliran DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara (Sumut) yang dipimpin Rudolf Matzuoka Pardede kisruh. Masalahnya, Rudolf berambisi besar maju sebagai calon gubernur pada Pemilihan Gubernur Sumut 2008. Padahal, DPP PDI Perjuangan tidak memberi restu untuk Rudolf maju di pilgub, karena dia sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan ijazah.
Sebenarnya, kasus ijazah palsu Rudolf Pardede sudah diselesaikan sebelumnya oleh Panda Nababan, yang kala itu menjadi Ketua Bidang Masyarakat dan Media DPP PDI Perjuangan sekaligus anggota Komisi III DPR. Panda mendatangi Kapolri Jenderal Polisi Sutanto meminta diterbitkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) terhadap Rudolf Pardede, yang saat itu masih menjabat Gubernur Sumut. Dasarnya: bukti untuk menentukan Rudolf menjadi tersangka cukup lemah dan politis pula.
Kapolri Sutanto memenuhi permintaan Panda, dengan syarat Rudolf tidak maju menjadi calon gubernur. Syarat dari Kapolri Ini untuk menghindari kisruh politik yang berlarut-larut di antara kader PDI Perjuangan Sumut, yang dapat berdampak luas kepada keamanan dan ketertiban masyarakat umumnya.
Panda pun melaporkan soal ini kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan juga menginformasikan Rudolf Pardede.
Menjelang berakhirnya masa tenggat pendaftaran Pilgub Sumut, pengurus DPP PDI Perjuangan melakukan rapat di kantor DPP di Jalan Raya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ketua Umum Megawati memberi mandat kepada Panda Nababan untuk menjadi Pelaksana Tugas Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut, menggantikan Rudolf kalau dia tetap ngotot ingin maju dalam pilgub.
“Kenapa mesti saya? Kenapa bukan Ketua DPP Korwil Sumatera, Theo Syafei, Dudhie Makmun Murod, atau Agneta Singedekane?” kata Panda dalam rapat itu, sebagaimana dimuat dalam buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi (2021).
Memang, selain menjadi salah seorang ketua DPP, Panda juga mendapat tugas dari partainya untuk menjadi Koordinator Wilayah (Korwil) Kalimantan, bukan Sumatera.
Namun, Megawati punya alasan sendiri memilih Panda. “Tidak,” kata Megawati, “kau kan anak Medan. Rudolf juga temanmu. Kaulah yang menggantikan dia.”
Akhirnya, pada 24 Januari 2008, dengan membawa surat keputusan yang ditandatangani Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Pramono Anung, Panda Nababan dan sejumlah pengurus DPP berangkat ke Medan. PDI Perjuangan akan mengusung pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Mayor Jenderal (Purn.) Tritamtomo-Benny Pasaribu dalam Pilgub Sumut 2008.
Panda dan kawan-kawan tiba kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sumut, di Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan, sekitar pukul 23.30 WIB. Jadi, kira-kira setengah jam sebelum pendaftaran kontestan pilgub ditutup.
“Ada sejumlah orang yang mencoba menghambat kami dalam perjalanan menuju kantor KPU itu, meski kami sejak di bandar udara sudah dikawal beberapa personel polisi dan tentara,” tutur Panda.
Begitupun ketika tiba di halaman kantor KPUD Sumut, Panda dan kawan-kawan langsung mendapat pengawalan ketat oleh personel Brimob Polda Sumut. Seiring itu, ratusan pendukung Rudolf berteriak-teriak agar Rudolf didaftarkan sebagai calon gubernur. Mereka menggunakan atribut kaos bergambar Rudolf berlatar belakang pelangi.
“Ayo, kita daftarkan Pak Rudolf ke KPUD sekarang. Usir Panda! Bunuh Panda! Bunuuuh…,” demikian antara lain teriakan pendukung Rudolf.
Suasana cukup mencekam. Lampu jalan dan lampu halaman kantor KPUD redup pula.
Rupanya, keributan ini sudah diantisipasi pihak keamanan dan tentara. Selain oleh personel Brimob, kantor KPUD dijaga oleh pasukan polisi anti-huru-hara dari Poltabes Medan. Juga dijaga aparat TNI.
“Begitu masuk beranda gedung KPUD Sumut, saya melihat Rudolf berkeringat. Saya pun berpeluh, karena suasana di dalam kantor KPUD memang pengap, banyak manusia di dalam yang tidak jelas identitasnya dan dipenuhi asap rokok pula. Panas, karena AC-nya tidak dihidupkan. Keringat menjalar,” tutur Panda.
Jam sudah mendekati batas waktu pendaftaran pasangan calon gubernur, yakni jam 24.00 WIB. “Suasana cukup dramatis, seperti adegan film dan saya menjadi pemeran utamanya layaknya,” kata Panda lagi.
Tempat pendaftaran di lantai dua. Manusia juga memenuhi ruangan, yang lampunya tidak terlampau terang. Suasana tegang.
Orang-orang saling memelototkan mata, saling menjaga reaksi. Tidak bersahabat.
“Saya pun menemui Rudolf, karena Theo Syafei tak bergerak lebih dulu untuk menemui dia. Padahal, mestinya ini tugas Theo sebagai Koordinator Wilayah Sumatera, bersama Dudhie Makmun Murod dan Agneta Singedekane. Sebenarnya, saya kala itu justru sebagai ‘pengantin’-nya, yang bertugas mendaftarkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur ke KPUD.
Saya sungguh kecewa. Apalagi, pada menit-menit kritis itu, mayor jenderal purnawirawan tersebut berada jauh di belakang saya, bukan mendampingi saya. Theo malah berkumpul bersama Dudhie dan Agneta. Saya mendapat kesan sebenarnya saya sedang dijorokin ke muka Rudolf dengan segala risikonya. Dalam hati saya, kenapa mereka bertiga ikut ke Medan kalau toh akhirnya hanya saya yang bicara,” ungkap Panda.
Akhirnya, menghampiri Rudolf sampai mereka berdua berhadapan dalam jarak dekat. “Rudolf, kau tetap maju? Kalau kau maju, kau dipecat,” kata Panda.
“Siapa yang mengganti aku?”
“Aku,” jawab Panda.
Tak diduga, Rudolf dengan datar menjawab, “Ya, sudahlah kalau kau yang menggantikan aku.”
Sikap Rudolf ini menjadi semacam antiklimaks dari suasana panas dan tegang. Tambahan pula, Rudolf segera meninggalkan ruangan, pergi.
“Sikapnya ini membuat saya benar-benar menaruh respek kepada Rudolf. Rasa hormat saya masih terkenang sampai kini. Betul-betul dia kesatria dan sangat menghargai persahabatan kami sejak puluhan tahun lampau,” ujar Panda. []