ATAS nama stabilitas keamanan demi pembangunan, rezim militer yang dipimpin Presiden Soeharto selama lebih dari 30 tahun seolah begitu takut terhadap pers. Pada masa ini di Indonesia, pemberedelan atau penutupan media massa seolah menjadi hal biasa, meski konstitusi (bahkan sebelum diamandemen) dengan tegas menjamin kebebasan mengungkapkan pendapat.
Pada masa awal berkuasanya saja, dekade kedua tahun 1960-an, rezim Soeharto langsung memberangus koran-koran beraliran komunis, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur. Memasuki tahun 1970 dan seterusnya, pemberedelan dilakukan kepada media massa apa pun yang pemberitaannya dianggap mengganggu jalannya roda pembangunan.
Salah satu korbannya adalah harian sore terkemuka pada masanya, Sinar Harapan. Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro mencabut Surat Izin Cetak Sinar Harapan. Namun, pemberedelan ini tidak selamanya. Tanggal 12 Januari 1973, Sinar Harapan diizinkan terbit kembali.
Apa pasal? Rupanya, sang penguasa tidak senang Sinar Harapan memberitakan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 1973/1974 sebelum Presiden Soeharto sendiri secara resmi mengumumkan. Konon, Soeharto marah besar.
Sinar Harapan berani memberitakan soal itu karena memang mendapat bocorannya dari sumber yang sangat bisa dipercaya, seorang menteri di bidang ekonomi dan keuangan. Menteri yang ingin identitasnya dirahasiakan itu memberikan informasi dan datanya kepada Panda Nababan, yang kemudian dituliskan dengan judul “Anggaran ‘73-’74 Rp. 826 milyard” dan dimuat menjadi headline halaman pertama Sinar Harapan edisi 30 Desember 1972. Dan, bukan hanya medianya yang diberedel, Panda dan Aristides Katoppo (Redaktur Eksekutif Sinar Harapan) pun ditangkap.
“Korannya sudah kami beredel dan wartawannya sudah kami tangkap, tinggal membuka mulutnya saja,” kata Jenderal Soemitro saat konferensi pers mengenai pemberitaan yang menghebohkan masyarakat tersebut.
Menurut pengakuan Panda, dirinya sebelum ditangkap sempat berkonsultasi dulu dengan dua wartawan senior, yakni Pemimpin Redaksi Indonesia Raya
Mochtar Lubis dan Pemimpin Redaksi Pedoman Rosihan Anwar. Karena, ia yakin, aparat pemerintah pasti akan menangkap dan mengintimidasi dirinya agar mau mengungkapkan siapa narasumber berita RAPBN itu.
“Saya temui keduanya di rumah masing-masing, yang kebetulan sama-sama di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Rumah Mochtar Lubis di Jalan Bonang, sementara rumah Rosihan Anwar di Jalan Surabaya,” tutur Panda.
Baik Mochtar Lubis maupun Rosihan Anwar punya pandangan yang hampir sama. “Jangan kau bocorkan. Biar kau ditangkap. Itu jauh lebih terhormat,” kata Mochtar Lubis.
Mengikuti saran kedua senior itu, Panda pun tetap bungkam sewaktu diperiksa aparat militer. “Saya dan Tides dibawa aparat Satgas Intel [Satuan Tugas Intelijen] Kopkamtib ke sebuah rumah besar dikawasan Kebayoran Lama, yang terkenal dengan sebutan Gang Buntu. Kami diperiksa tanpa didampingi atasan dari Sinar Harapan atau penasihat hukum—dan memang tidak terpikir soal penasihat hukum. Saya sendiri menikmati pemeriksaan ini dan ada perasaan bangga juga, karena diperiksa terkait pemberitaan informasi negara yang sangat penting buat rakyat banyak. Saya pikir, paling-paling saya digebuki dan masuk penjara,” ujar Panda.
Bukan hanya Satgas Intel Kopkamtib yang memeriksa Panda dan Tides, tapi juga aparat Kejaksaan Agung, bahkan Jaksa Agungnya sendiri, yang kala itu dijabat Soegih Arto. “Awalnya, saya juga diintimidasi oleh Soegih Arto pakai cara yang mirip dengan yang dilakukan Yoga Soegama sewaktu menjadi Asisten Intelijen Hankam saat memeriksa saya terkait berita Desa Losarang di Indramayu. Saya coba ditakuti-takuti dengan stigma PKI, coba di-PKI-kan,” ungkap Panda.
Pada mulanya, lanjutnya, Soegih Arto mengingatkan bahwa Panda adalah mantan mahasiswa Universitas Bung Karno. “Kenapa, Pak, kalau saya anak Universitas Bung Karno? Mau dimasukkan ke penjara lagi? Senang saya. Siapa tak senang dipenjarakan?” kata Panda kepada Soegih Arto.
Mendengar reaksi Panda, Soegih Arto kaget. Belum lagi dia menjawab, Panda sudah bicara lagi, “Lagi pula, apa yang salah dengan saya sampai harus dipenjarakan, Pak? Tapi, ya, terserah, Bapak, kalau memang itu risikonya,” ujar Panda.
Jaksa Agung Soegih Arto pun meminta Panda untuk memberitahukan siapa narasumber berita itu. “Tidak bisa, Pak,” jawab Panda.
Karena tak berhasil mengintimidasi Panda, Jaksa Agung Soegih Arto berubah sikap. Dengan sedikit menurunkan volume suaranya, demikian diceritakan Panda, dia mengatakan, “Saudara Panda, Presiden ingin mengetahui siapa-siapa pembantunya yang loyal. Untuk itu, Saudara harus memberitahu siapa-siapa yang menjadi sumber beritamu. Kalau kamu mengaku sama saya, saya akan membantu kamu untuk sekolah ke luar negeri sampai masalah ini reda. Kami fasilitasi. Tapi, kalau kamu enggak buka ini, kau akan ditahan. Pikirkanlah satu-dua hari ini, setelah itu kembali lagi menghadap saya, ya!”
Kemudian Panda Nababan pun dilepas. Begitu pula Aristides. Namun, kemudian, keduanya diperiksa lagi oleh pihak Departemen Penerangan, yang waktu itu menterinya adalah Marsekal Muda Boediardjo.
Dalam perkembangannya, manajemen Sinar Harapan mencopot Aristides Katoppo dari jabatannya sebagai redaktur eksekutif. Pemeriksaan terhadap Panda juga dihentikan. Sinar Harapan bisa kembali terbit.
“Telah terjadi ‘kompromi’ antara pejabat pemerintah dan petinggi Sinar Harapan, dengan mengorbankan Aristides. Saya dan sejumlah wartawan lain pun memprotes pencopotan Aristides. Kami datangi rumah T.B. Simatupang, salah seorang pendiri
dan pemegang saham Sinar Harapan, di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Kala itu, di rumah Simatupang sedang berlangsung rapat para pemegang saham Sinar Harapan, yang antara lain membahas kasus pemberedelan. Saya, Daud Sinjal, dan Gandjar Ilyas meminta izin bicara dalam rapat pemegang saham tersebut, ” tutur Panda.
Namun, T.B. Simatupang malah marah. “Dengan nada tinggi, kami disuruh
keluar dari rumahnya. Kami bertiga akhirnya pulang. Yang membuat saya sempat kesal, Persatuan Wartawan Indonesia yang seharusnya membela Sinar Harapan malah menyatakan memaklumi pemberedelan itu dan juga memaklumi pemecatan
Tides. Yang justru membela adalah harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis,” kata Panda lagi .
Dalam tajuknya yang berjudul “Kasus SH”, Indonesia Raya antara lain menulis: “Jika perlu diteliti iktikad surat kabar yang menyiarkan sesuatu rahasia negara. Apakah dilakukan untuk kepentingan umum atau maksud lain? Untuk mempertimbangkan hal serupa ini perlulah kejadian ini dibawa melalui proses pengadilan.” []
Cerita lengkapnya bisa dibaca di buku Panda Nababan Lahir sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi(2021).